Bahasa Litrugi
SETIAP Hari Minggu pada umumnya Perayaan Ekaristi diadakan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Dengan demikian umat yang terdiri dari pelbagai budaya dapat berpartisipasi dalam perayaan liturgi. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia resmi. Pembaruan liturgi dimaksudkan agar semua umat sungguh memahami bahasa liturgi sehingga “semua orang beriman dibimbing ke arah keikutsertaan yang sepenuhnya, sadar dan aktif dalam perayaan-perayaan liturgi” (SC, 14)
Sementara itu tak dapat disangkal bahwa sebagian besar umat berbahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari. Mereka pun menggunakan bahasa Indonesia pergaulan dalam urusan misalnya perdagangan, di tempat kerja pabrik, di jalanan dan lain lain. Terdapat begitu banyak bahasa daerah di Indonesia. Umat dari etnik Tionghoa pun mengenal beberapa bahasa: Hokkien, Teo-Chiu, Hakka dan Kanton. Ketika berbicara bahasa Indonesia, banyak orang dipengaruhi dialek bahasa daerahnya, yang strukturnya bisa berbeda dengan bahasa Indonesia resmi. Apalagi pengetahuan tentang kosa-kata bahasa Indonesia resmi sangat terbatas. Bahasa Indonesia diserap pula oleh kosa-kata bahasa daerah dan bahasa asing. Banyak kosa kata dari bahasa Jawa misalnya belum tentu serta merta dipahami umat dari Batak, Papua dan Timor.
Sejak awal Gereja Katolik sudah mengalami masalah bahasa dalam dogma dan perayaan liturginya. Masalah bahasa juga dialami umat Yahudi dalam Perjanjian Lama. Bangsa Yahudi sudah mengalami masalah bahasa, sebab ketika bangsa ini kembali dari pembuangan Babilonia, mereka tidak lagi berbahasa Ibrani tetapi Aram. Bahasa Aram adalah, suatu bahasa Semit yang lain sama sekali. Mereka terus mendaraskan doa-doa ritual dalam bahasa Ibrani, walaupun mereka mempunyai kesulitan dalam memahaminya. Demikianlah sepanjang sejarah Gereja, bahasa liturgi termasuk terjemahannya terus menerus dipersoalkan.
Gereja Perdana di Yerusalem memakai bahasa Aram untuk beribadah. Ketika Gereja Katolik tersebar di seluruh Kekaisaran Romawi, penggunaan bahasa Yunani menjadi semakin meluas termasuk di Roma sendiri. Gereja juga tersebar ke daerah yang tidak berbahasa Yunani seperti Antiokhia yang memakai bahasa Siria sebagai bahasa liturgi. Di Aleksandria, bahasa Yunani dipakai dalam liturgi sampai abad VII, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Koptik dengan alasan nasionalisme. Di Etiopia, jemaat memakai bahasa kuno (Ge’ez). Sedangkan, Gereja Katolik di Armenia, yang mengenal kekristenan karena pengaruh dari Konstantinopel dan Antiokhia, mempertahankan bahasa kuno Armenia. Di Roma, pemakaian bahasa Latin di dalam liturgi dimulai dari masa Paus Damasus I (305-384) yang menjadi paus dari tahun 366-384. Pada masa ini, terjadi pergeseran bahasa liturgi dari bahasa Yunani ke Latin, mengikuti perkembangan bahasa masyarakat umum. Ungkapan dan fase dalam buku liturgi di satu sisi mempunyai sejarah pembentukan yang panjang dan di sisi lain terbuka pada perubahan di masa depan.
Pembaruan liturgi terutama diungkapkan dalam bahasa yang dimengerti oleh umat peraya liturgi. Dalam hal ini Konsili Vatikan II menyatakan: “Hendaknya upacara-upacara bersifat sederhana namun luhur, singkat, jelas, tanpa pengulangan-pengulangan yang tiada gunanya. Hendaknya disesuaikan dengan daya tangkap umat beriman, dan pada umumnya jangan sampai memerlukan banyak penjelasan” (Sacrosanctum Concilium, No.34).