Hidup Dalam Roh – Part2
Bagaimana Hubungan Antara Hidup Dalam Roh Dan Hukum Moral?
Hidup dalam Roh bukanlah perasaan mistis yang bebas dari aturan. Sebaliknya, Roh Kuduslah yang menginternalisasi dan memampukan kita untuk menghidupi hukum moral dengan sukacita.
-
Dari Hukum yang Tertulis kepada Hukum yang Tertulis dalam Hati:
-
Kitab Suci (Perjanjian Lama): “Aku akan memberikan hukum-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka” (Yeremia 31:33).
-
Kitab Suci (Perjanjian Baru): “Kamu adalah surat Kristus… ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh dari Allah yang hidup, bukan pada loh-loh batu, melainkan pada loh-loh daging, yaitu di dalam hati kamu” (2 Korintus 3:3).
-
Makna: Roh Kudus mengubah ketaatan kita dari sekadar mematuhi aturan luar (legalisme) menjadi respons cinta yang berasal dari hati yang telah diubahkan (moralitas interior).
-
-
Hukum Kasih sebagai Penggenapan:
-
Kitab Suci: “Seluruh hukum Taurat tercakup dalam satu firman ini, yaitu: ‘Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri'” (Galatia 5:14).
-
Pengajaran Magisterium (KGK 1965-1966): Hukum moral Kristiani mencapai puncaknya dalam Khotbah di Bukit, yang merupakan pola hidup bagi para murid Yesus. Roh Kudus memampukan kita untuk menghidupi hukum yang sempurna ini, yang berpusat pada kasih.
-
Apa Peran Hati Nurani Dalam Roh?
Hati nurani adalah tempat di mana Roh Kudus berbicara secara paling personal kepada kita.
-
Definisi (KGK 1777-1778): Hati nurani adalah “suatu penghakiman akal budi,” di mana manusia menyadari kualitas moral dari suatu perbuatan konkret. Ia adalah “suaranya Allah” dalam hati manusia.
-
Hubungannya dengan Roh Kudus: Roh Kudus menerangi akal budi dan membentuk hati nurani kita melalui:
-
Ajaran Gereja (Magisterium): Yang merupakan penuntun yang aman bagi hati nurani.
-
Karunia Nasihat: Yang membantu kita membedakan kehendak Allah dalam situasi yang konkret.
-
Doa dan Pembacaan Kitab Suci: Di mana kita mendengarkan suara Tuhan.
-
-
Panggilan untuk Membentuk Hati Nurani: Hati nurani bukanlah perasaan subjektif. Ia harus dibentuk oleh kebenaran objektif dari Sabda Allah dan Ajaran Gereja. “Hati nurani yang terbentuk dengan baik adalah jujur dan tulus” (KGK 1799).