Homili: Kerendahan hati membuka jalan menuju belas kasih Allah (Luk 18:9-14)
Dalam mitologi Yunani, ada dewa bernama Narcissus. Dikisahkan ia sangat tampan. Banyak dewi yg jatuh cinta kepadanya. Narkissus adalah pemuda yang sangat tampan, tetapi juga sangat sombong. Ia menolak semua orang yang mencintainya — termasuk dewi yang bernama bernama Echo. Echo terlalu banyak bicara, dan suka membuat orang lain berbuat curang. Maka Echo dikutuk oleh Hera, istri Zeus. Akibat kutukan itu Echo hanya bisa mengulang kata-kata terakhir yang didengarnya. Dan tidak bisa bicara lebih dulu. Ketika Echo melihat Narkissus, ia jatuh cinta pada pada pandangan pertama. Namun pada saat ia mencoba mendekati Narcissus, dia hanya bisa mengulang kata-kata Narcissus. Saat akhirnya dia menunjukkan jati dirinya, Narcissus menolak dan menghinanya. Echo melarikan diri ke hutan dan perlahan menghilang hingga hanya suara gema (echo) yang tersisa.
Ketampanan membuat dia angkuh. Ia menolak semua pernyatan cinta para dewi bahkan sering dengan cara yang kejam menghancurkan hati mereka. Keangkuhan narcissus ini membuat para dewa yang lain menjadi murka dan narcissus pun dibuang ke bumi. Sampai di bumi, Narcissus berjalan sampai ke sebuah danau. Didorong rasa haus, ia meminum air danau yang begitu jernih. Saat melihat pantulan wajahnya sendiri yang tampan dipermukaan air, seketika Narcissus jatuh cinta pada bayangannya sendiri. Perasaan ini membuatnya menderita. Ia terus memandangi bayangan itu, sampai akhirnya mati di tepi kolam, karena tak pernah bisa memiliki dirinya sendiri. Saat melihat pantulan wajahnya sendiri yang tampan dipermukaan air, seketika Narcissus jatuh cinta pada bayangannya sendiri. Perasaan ini membuatnya menderita.
Ia sangat mengagumi bayangannya sendiri dan bayangannya juga tampaknya menyukainya. Tapi bayangan hilang pada setiap kali ia mengulurkan tangan untuk menyentuhnya. Ia putus asa, tak lagi berminat untuk makan dan tidur, hanya terus duduk di tepi danau demi memandang bayangannya. Akhirnya, Narcisssus mati bunuh diri akibat patah hati.
Pantulan air adalah cermin pertama yg ditemukan manusia. Dalam hidup sehari hari, kita mengandalkan cermin untuk melihat diri kita sendiri, untuk merapikan rambut, pakaian dan lain lain. Cermin menjalankan tugas dengan baik dan tidak pernah berbohong, sejauh permukaannya dijaga tetap bersih.
Injil hari ini menampilkan dua tokoh yang berdoa di Bait Allah: seorang Farisi dan seorang pemungut cukai. Keduanya datang ke tempat yang sama, namun dengan hati yang sangat berbeda.
Orang Farisi berdoa dalam hatinya dengan penuh kebanggaan:
“Allahku aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak seperti orang lain… aku berpuasa, aku memberi persembahan.”
Sementara pemungut cukai berdiri jauh-jauh dan dengan rendah hati berkata:
“Allahku yang maharahim, kasihanilah aku orang berdosa ini.”
Orang Farisi seperti Narcissus — ia berdoa, tetapi tidak menatap Allah; ia menatap dirinya sendiri. Ia berdoa bukan untuk bersyukur dengan rendah hati, melainkan untuk mengagumi dirinya sendiri di hadapan Allah. Ia jatuh cinta pada “bayangan kesalehan” yang ia ciptakan.
Sedangkan pemungut cukai, sebaliknya, tidak memandang bayangan diri, melainkan memandang Allah. Ia tahu bahwa hanya rahmat dan belas kasih Allah yang menyelamatkan. Ia tidak sibuk dengan diri, tapi membuka hati pada cinta Tuhan. Dan karena itu, Yesus berkata: “Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan.”
Bersyukur kepada Allah tentu baik. Tapi kesombongan rohani membuat orang Farisi itu tidak membutuhkan Allah. Ia hanya lapor, prestasi saya begini dan mana upahnya. Melaksanakan kewajiban, bahkan kalau lebih dari yang diwajibkan tentu baik. Tapi tanpa kasih dan syukur, tindakan kesalehan dan amal orang Farisi itu menjadi hampa juga.
Orang Farisi itu merasa menghadap Allah, tapi sebenarnya ia menghadap dan bicara dengan dirinya sendiri. Jadi, dia tidak menemukan apa-apa yang baru dari Allah. Dia hanya bertemu dengan kepuasan dan kesombongan dirinya sendiri.
Pemungut cukai itu menghadap Allah dan menyerahkan diri pada belas kasihNya, ia menemukan Allah perduli dan bersabar kepadanya.
Yesus tidak mengatakan bahwa doa syukur itu salah dan doa mohon ampun itu yang benar. Yang ingin ditunjukkan Yesus adalah sikap doa yang benar ialah: terarah pada Allah, tumbuh dalam kepercayaan dan penyerahan diri kepada Allah bukan berpusat pada diri sendiri. Dalam sikap dan arah doa yang berpusat pada Allah, doa dapat menjadi ungkapan syukur yang memberi semangat dan sukacita. Atau menjadi sikap tobat yang mendorong kearah pembaharuan hidup.
Yesus kemudian menegaskan bahwa bukan orang Farisi, melainkan pemungut cukai itulah yang pulang ke rumahnya dibenarkan oleh Allah. Mengapa?
Karena Allah tidak mencari kesempurnaan lahiriah, tetapi ketulusan hati dan kerendahan hati yang mengakui kebutuhan akan belas kasih-Nya.
Cermin dari Kesombongan Manusia
Orang Farisi sama dengan Narcissus adalah gambaran manusia yang terlalu mencintai diri sendiri hingga lupa akan sesama dan Tuhan. Ia terpikat oleh pantulan dirinya — sebuah lambang dari ego dan kesombongan. Dalam hidup rohani, kita sering juga “menatap air” — memandangi keindahan diri, prestasi, atau kekuasaan — dan lupa bahwa semua itu hanya pantulan sementara, bukan sumber sejati kehidupan.
“Setiap orang yang meninggikan diri akan direndahkan, dan yang merendahkan diri akan ditinggikan.” (Luk 14:11)
Cinta yang Terlalu Sempit
Orang Farisi sama dengan Narkissus tidak mampu mencintai orang lain. Ia menolak Echo, menolak semua saja yang mencintainya. Ia ingin dicintai, tetapi tidak tahu bagaimana mencintai dengan tulus. Begitulah hati manusia bila tertutup oleh kesombongan. Narkissus haus akan cinta, namun dia hanya mampu mencintai bayangannya semata.
Saudara-saudari, mungkin tanpa sadar kita juga sering berdoa seperti orang Farisi — doa yang dipenuhi “aku” dan “diriku”: “Aku sudah rajin misa, aku aktif di paroki, aku tidak seperti orang lain.” Padahal Tuhan tidak mencari doa yang indah, tetapi hati yang jujur.
Doa yang sejati adalah saat kita berhenti menatap diri sendiri, dan mulai memandang wajah Allah. Seperti pemungut cukai yang tidak berani menengadah, tetapi hatinya sepenuhnya terbuka bagi Tuhan.
⸻
Cinta yang Mengalir Keluar
Dari kisah Narkissus, kita belajar bahwa cinta yang hanya berputar pada diri sendiri akan mati. Begitu juga iman yang berpusat pada diri — ia akan layu. Tetapi iman yang memandang Allah dan sesama akan tumbuh menjadi bunga kasih yang sejati. Allah tidak memanggil kita untuk jatuh cinta pada bayangan diri, tetapi untuk jatuh cinta pada kasih-Nya yang hidup dalam sesama.
Setiap kali kita rendah hati, mengakui dosa, dan mau dibentuk, kita sedang memecahkan cermin Narkisos — dan membiarkan cahaya Allah menembus hati kita.
⸻
Tiga Inspirasi
- Doa sejati lahir dari hati yang jujur. Kita sering jatuh dalam godaan seperti orang Farisi — merasa lebih baik dari orang lain, bahkan dalam hal-hal rohani. Padahal, doa yang benar bukanlah pembuktian diri, tetapi perjumpaan dengan Allah yang penuh kasih.
- Kerendahan hati membuka jalan rahmat. Pemungut cukai tahu dirinya tidak layak, namun justru itulah pintu rahmat terbuka. Allah tidak menolak hati yang hancur dan rendah (Mzm 51:19).
- Pelayanan yang sejati lahir dari kerendahan hati. Dalam hidup menggereja, karya pelayanan tidak boleh menjadi ajang kebanggaan, tetapi ungkapan kasih kepada Tuhan yang lebih dulu mengasihi kita.
Doa Singkat
Allah yang penuh kasih,
Engkau mengenal hati kami lebih dari apa yang tampak di mata manusia.
Ajarilah kami untuk berdoa dengan rendah hati,
bukan untuk memuji diri, tetapi untuk membuka hati kepada-Mu.
Seperti pemungut cukai yang memohon belas kasih-Mu,
kami pun datang kepada-Mu dengan segala kelemahan dan dosa kami.
Kasihanilah kami, Tuhan,
sucikan hati kami,
agar dalam setiap doa dan pelayanan kami,
hanya nama-Mu yang dimuliakan.
Non nobis Domine, non nobis sed nomini Tua da gloriam, bukan kepada kami Tuhan, bukan kepada kami, tapi hanya kepada-Mu saja kemuliaan diberikan.
Demi Kristus, Tuhan dan Pengantara kami. Amin.











