Retret Dalam Gereja Katolik
RETRET merupakan salah satu bentuk pembinaan kehidupan religius dan praksis rohani yang berakar dalam tradisi Gereja dan didukung oleh refleksi teologis mengenai manusia sebagai makhluk rohani-capax Dei (Karl Rahner, Foundations of Christian Faith, hlm. 121–125). Retret bukan sekadar aktivitas pembinaan iman, tetapi ruang transformasi batin yang memampukan umat beriman untuk mengalami Allah secara lebih mendalam.
1. RETRET DALAM KITAB SUCI
Gerakan menjauh dari keramaian untuk mendengarkan suara Allah sudah tampak sejak Perjanjian Lama. Musa naik ke Gunung Sinai untuk menerima Taurat. Elia di Gunung Horeb (1Raj 19:11–13): Allah tidak hadir dalam angin ribut, gempa, atau api, tetapi dalam “qôl demāmâ daqqâh”—sering diterjemahkan suara angin sepoi-sepoi basa, namun secara harfiah berarti “suara keheningan yang halus”. Dalam Kitab Kejadian, keheningan dipahami sebagai atmosfer Penciptaan (Kej 1). Tradisi rabinik menafsirkan bahwa sebelum sabda “Berfirmanlah Allah…”, ada hening primordial, tohu wa-bohu, ruang sunyi tempat firman memecah kekacauan. Artinya, Firman muncul dari keheningan. Dalam Kitab Mazmur sering menghadirkan keheningan sebagai tempat Allah bertindak: “Diamlah dan ketahuilah bahwa Akulah Allah.” (Mzm 46:11). Pola ini mengindikasikan bahwa pewahyuan kerap terjadi dalam keheningan dan mengambil jarak dari rutinitas sehari-hari. Dalam Perjanjian Baru, Yesus juga secara teratur menarik diri ke tempat sunyi untuk berdoa. Bagi Yesus, kesendirian bukan pelarian, tetapi ruang dialog dengan Bapa. Tradisi inilah yang kemudian menginspirasi spiritualitas padang gurun dan struktur retret yang lebih formal dalam Gereja.
2. TEOLOGI KEHENINGAN
Di dalam retret dikembangkan Teologi Keheningan, yang menurut Karl Rahner sebagai refleksi iman bahwa Allah sebagai Misteri Absolut. Itu dihayati dalam keheningan. Robert Kardinal Sarah menyatakan bahwa: “Keheningan adalah bahasa Allah.” Paus Benediktus XVI menyatakan: “Keheningan sebagai ruang kontemplasi liturgis”. Istilah “perhentian” (katapausis) juga bernuansa hening sabatikal, ruang sunyi di mana Allah dan manusia berjumpa. Keheningan bukan hanya ruang eksternal, tetapi perhatian batin yang memampukan manusia menangkap kehendak Allah. Santo Agustinus mengatakan : “Fecisti nos ad Te, et inquietum est cor nostrum, donec requiescat in Te ” — “Engkau telah menciptakan kami bagi-Mu, dan hati kami gelisah sebelum beristirahat dalam Dikau.” (Confessiones I,1). Ungkapan “Hatiku gelisah sebelum beristirahat dalam Dikau” pada dasarnya adalah teologi keheningan: kegelisahan manusia berakar pada keterpisahan dari Allah, dan hanya keheningan rohani—silentium—yang memulihkan orientasi hati sehingga dapat masuk ke dalam requies, istirahat yang hanya Allah berikan.
3. PARA BAPA PADANG GURUN (ABAD 3–5)
Retret menemukan bentuk radikalnya dalam gerakan Bapa-bapa Petapa Padang Gurun di Mesir, Palestina, dan Suriah. Mereka meninggalkan kehidupan umum dan tinggal dalam kesunyian padang gurun sebagai bentuk askese. Gerakan ini dipimpin tokoh-tokoh seperti Antonius Agung, Evagrius Ponticus, dan komunitas monastik awal lainnya. Tujuan utama mereka adalah mencari Allah tanpa distraksi, mengenali dinamika gerak batin, serta berlatih pembedaan roh. Karya-karya seperti Praktikos oleh Evagrius dan Conferences oleh Cassian memberi fondasi bagi disiplin rohani, termasuk pemeriksaan batin, keheningan, dan doa kontemplatif. (Evagrius Ponticus, The Praktikos and Chapters on Prayer, terj. John Eudes Bamberger Spencer, MA: Cistercian Publications, 1970).
Tradisi ini kemudian menjadi akar bagi model retret sepanjang sejarah Kekristenan.
4. TRADISI MONASTIK BARAT
Tradisi monastik Benediktin dan Cistercian memberi bentuk komunitatif pada retret. Regula Benediktin menekankan keseimbangan antara doa, keheningan, meditasi Kitab Suci, dan kerja harian. Di sini retret bukan kegiatan sementara, tetapi pola hidup (St. Benedict, Regula Benedicti, ed. Timothy Fry: Collegeville: Liturgical Press, 1981). Metode lectio divina, sebagaimana dijelaskan oleh Leclercq, menjadi sarana meditasi Kitab Suci yang kemudian menjadi kerangka dasar meditasi dalam berbagai retret hingga masa kini (Jean Leclercq, The Love of Learning and the Desire for God: A Study of Monastic Culture. New York: Fordham University Press, 1982).
Biara Benediktin dan Cistercian sama-sama merupakan ordo kontemplatif yang berakar pada Regula Santo Benediktus dari Nursia (abad keenam) dan menempatkan doa, liturgi, dan hidup komunitas sebagai pusat panggilan. Ordo Benediktin menampilkan spiritualitas kontemplatif yang berciri keseimbangan dan kebijaksanaan: semboyan ora et labora dihidupi dalam ritme yang seimbang antara doa, kerja, studi, dan istirahat. Liturgi dirayakan dengan khidmat, namun bentuk karya mereka bisa cukup luas (pendidikan, paroki, budaya, dan lain-lain), sehingga kontemplasi meresapi seluruh dinamika hidup harian mereka. Ordo Cistercian lahir sebagai pembaruan dari tradisi Benediktin dengan penekanan khas pada kesederhanaan, keheningan, dan askesis: arsitektur dan gaya hidup sederhana, keheningan dijaga lebih ketat, dan kerja, sering kali kerja fisik, dihayati sebagai bagian integral dari doa. Keduanya sama-sama “hidup tersembunyi bersama Kristus dalam Allah” (bdk. Kol 3:3), hanya jalur dan gayanya yang sedikit berbeda. Dengan demikian, Benediktin dan Cistercian sama-sama menjalani kehidupan kontemplatif, namun Benediktin menonjol dalam moderasi dan keseimbangan. Sedangkan Cistercian (termasuk Trappist) menonjol dalam kesunyian dan kesederhanaan yang lebih radikal sebagai jalan untuk bersatu dengan Allah.
5. REFORMASI KATOLIK DAN KONSILI TRENTE
Setelah Konsili Trente (1545–1563), retret dipromosikan sebagai sarana pembinaan rohani, khususnya bagi para imam dan kaum religius. Pada masa inilah St. Ignatius Loyola memperkenalkan Exercitia Spiritualia, sebuah metode retret yang sistematis dan berpengaruh luas.
Senyatanya Reformasi Gereja Katolik, atau sering disebut Kontra-Reformasi menjadi puncta di partenza bagi sebuah ziarah rohani yang memperdalam kesadaran Gereja akan misteri hidupnya sendiri. Gereja, yang dipanggil untuk terus mengalami conversio cordis, membaca kembali sejarah sebagai ruang di mana Allah membimbing Tubuh-Nya menuju kemurnian dan kesetiaan yang lebih besar. Dalam atmosfer inilah Konsili Trente memulihkan disiplin rohani serta integritas hidup klerus—suatu pemurnian yang tidak sekadar berlaku dalam tataran normatif, melainkan dalam dimensi batin yang paling dalam, yakni pembentukan hati sebagai tempat tinggal Roh (John W. O’Malley, Trent: What Happened at the Council.Cambridge, MA: Harvard University Press, 2013: 145–168). Retret kemudian tampil bukan hanya sebagai sarana asketis, melainkan sebagai ruang teofanik, Istilah teofanik (Yunani: theos, Allah; phaino, menampakkan diri) merujuk pada momen ketika Allah mengomunikasikan diri-Nya secara langsung, sebagaimana ditunjukkan dalam pengalaman Musa di semak menyala (Kel 3) atau dalam Kejadian 19: yang menyebut awan kemuliaan di gunung Sinai (Gerhard von Rad, Old Testament Theology, vol.1. Louisville: Westminster John Knox, 2001), 176–181). Maka teofanik merupakan tempat Allah menyingkapkan diri-Nya melalui keheningan, penitensi, dan discernment. Pasca-Trente, retret menjadi seperti padang gurun Israel: suatu “waktu kudus” (tempus sacrum) di mana Gereja membiarkan dirinya dituntun kembali ke sumber identitasnya, yaitu Sabda yang memanggil, menyembuhkan, dan mengutus (Joseph A. Jungmann, Pastoral Renewal After the Council of Trent. New York: Herder & Herder, 1968, 57–78). Di tengah pergolakan doktrinal dan moral abad ke-16, retret berfungsi sebagai locus interioritatis, tempat Gereja kembali belajar mendengarkan suara Kristus, Sang Guru batin. Dalam horizon inilah Exercitia Spiritualia St. Ignatius Loyola menemukan daya rohaninya yang mendalam. Metodologinya yang terstruktur—empat minggu kontemplasi progresif—bukan sekadar teknik meditasi, tetapi sebuah perjalanan mistagogis: dari kesadaran akan dosa menuju perjumpaan Kristus yang menyelamatkan; dari pembersihan afeksi menuju penyelarasan kehendak dengan kehendak Allah; dari kontemplasi Injil menuju persekutuan misioner dalam Roh (Ignatius Loyola, Exercitia Spiritualia, ed. Munitiz & Endean. London: Penguin Classics, 1996, hal. xix–xxxiv). Exercitia membuka “jalan masuk” ke dalam misteri hidup Kristus, sehingga para peserta retret mengalami bukan hanya perubahan perilaku, tetapi transformasi batin (metanoia cordis) yang membarui seluruh orientasi hidup mereka (Howard Gray, “Ignatian Spirituality: A Spirituality of the Heart,” The Way 24, 1984: 211–222). Karena daya rohaninya yang demikian, Exercitia diadopsi secara luas dalam formasi para imam dan religius pasca-Trente. Retret tahunan menjadi ritme spiritual Gereja, semacam “liturgi batin”, di mana para pelayan Gereja membarui panggilannya di hadapan wajah Kristus. Pada titik ini, retret tidak lagi hanya dipahami sebagai waktu menjauh dari dunia, tetapi sebagai sakralisasi waktu, di mana Allah membentuk kembali wajah Gereja melalui hati para pelayannya. Ia menjadi sekolah Roh Kudus: tempat Gereja belajar kebijaksanaan, kemurnian niat, dan kesetiaan yang membara kepada misi keselamatan (Louis J. Puhl, “Retreat Movements in the Post-Tridentine Church,” Theological Studies 22.1961: 201–226).
Dengan demikian, tradisi retret yang tumbuh pasca-Trente merupakan buah dari sebuah dinamika mistagogis: Gereja dibimbing dari krisis menuju kedalaman, dari pergolakan historis menuju kontemplasi, dari pembaruan disiplin menuju pembaruan hati. Apa yang dimulai sebagai respons terhadap Reformasi Protestan berubah menjadi gerak turun Roh yang membangun kembali Gereja dari dalam, menuntunnya agar hidup semakin selaras dengan Injil dan semakin transparan terhadap misteri kasih Allah yang membentuk dan mengutus.
6. RETRET DALAM MASA MODERN
Konsili Vatikan II (1962-1965) mengajarkan bahwa kekudusan adalah sifat fundamental Gereja yang berasal dari Kristus. Panggilan untuk hidup kudus ini diperuntukkan bagi semua umat, bukan hanya bagi elitis tertentu dalam Gereja. Maka retret pun bukan hanya bagi para rohaniwan dan kaum religius, tetapi bagi seluruh umat beriman. Kekudusan yang diperoleh melalui baptisan harus terus diperjuangkan dan dikembangkan melalui hidup yang penuh kasih, hingga mencapai kesempurnaan bersama Allah (Lumen Gentium No. 39–40). Dengan demikian, pada abad ke-20 dan 21, retret berkembang menjadi bentuk-bentuk baru: retret diam, retret paroki, retret kontemplatif, retret katekumenat, hingga model retret digital. Meskipun bentuknya beragam, esensi retret tetap sama: suatu ruang di mana Allah berbicara dan manusia mendengarkan. Tujuan Dasar Retret berdasarkan Latihan Rohani St. Ignatius Loyola memiliki orientasi yang sangat jelas: membantu retretan “membebaskan diri dari segala afeksi tidak teratur” dan mengarahkan seluruh hidup kepada Allah. Tujuan akhirnya adalah keselarasan total dengan kehendak Allah melalui pembedaan roh. Struktur Empat Minggu (Empat Tahap) adalah sebagai berikut:
Minggu I – Kesadaran Akan Rahmat dan Dosa (Penjelasan tentang Minggu I dalam Ignatius Loyola, Exercitia Spiritualia, no. 43–71). Retretan diajak melihat sejarah keselamatan melalui kacamata belas kasih Allah, menyadari keberdosaan pribadi, dan membuka diri pada rahmat pembaruan.
Minggu II – Mengikuti Kristus (Ignatius Loyola, Rules for Discernment, Minggu I dan II).
Tahap ini memusatkan perhatian pada kehidupan publik Kristus. Retretan dipanggil untuk “mengikuti dan meniru Kristus sedekat mungkin” melalui kontemplasi Injili.
Minggu III – Bersatu dalam Penderitaan Kristus
Retretan memasuki misteri sengsara Kristus. Tujuannya bukan kesedihan sentimental, tetapi kesetiaan kasih kepada Kristus yang menderita bagi dunia.
Minggu IV – Kebangkitan dan Pengutusan
Retretan mengalami sukacita kebangkitan dan berjumpa Kristus yang bangkit. Pada tahap ini, retretan diperbarui untuk diutus kembali ke dunia sebagai saksi Injil. Metode Doa Ignatian (Ignatius Loyola, Exercitia Spiritualia, Roma: Institutum Historicum Societatis Iesu, 1964):
Pertama, meditasi: merenungkan realitas rohani dengan akal budi.
Kedua, kontemplasi imajinatif: masuk ke dalam adegan Injil seolah hadir sebagai peserta (Ignatius Loyola, Contemplatio ad Amorem, dalam Exercitia Spiritualia, no. 230–237).
Ketiga, examen harian: meninjau kembali gerakan roh dalam hari yang telah berlalu.
Kempat, repetisi: kembali pada pengalaman doa yang paling signifikan.
Desolasi dan Konsolasi dalam Retret
- Konsolasi (George Aschenbrenner, “Consolation Without Cause,” Review for Religious, 1972). Konsolasi adalah pengalaman rohani di mana hati terdorong pada iman, harapan, dan kasih. Konsolasi dapat berupa rasa kedamaian, terang batin, atau dorongan yang membawa seseorang kepada kebaikan.
- Desolasi
Desolasi adalah pengalaman kegelapan rohani, ketidakpastian, kekeringan, dan godaan untuk menjauh dari Allah. Ignatius menegaskan bahwa desolasi bukanlah penarikan rahmat, tetapi bagian dari pendidikan rohani.
- Pembedaan Roh dalam Konsolasi–Desolasi
Konsolasi harus diuji; desolasi harus dikenali akar dan tujuannya. Dalam tradisi Ignatian, keduanya menjadi alat untuk menilai gerak Allah dalam hidup seorang retretan.
Makna Keheningan dalam Retret
Keheningan adalah ruang teologis tempat Sabda berinkarnasi dalam batin manusia. Banyak teolog kontemplatif menegaskan bahwa keheningan bukan ketiadaan, tetapi “ruang di mana Allah berbicara”. Di dalam retret dikembangkan Teologi Kesunyian (Keheningan), yang disebut Karl Rahner, bahwa di dalam keheningan itu ditemui dan dihayati Allah sebagai Misteri Absolut (Karl Rahner, “God in the Silence,” dalam The Practice of Faith (New York: Crossroad, 1983). Robert Kardinal Sarah: “Keheningan adalah bahasa Allah.” Paus Benediktus XVI: “Keheningan sebagai ruang kontemplasi liturgis”. Thomas Keating, menyatakan bahwa keheningan sebagai medium teologis (Thomas Keating, Invitation to Love. New York: Continuum, 1992).
Di dalam keheningan, manusia beriman: membuka batin pada kehadiran Allah, menajamkan pendengaran rohani, memurnikan motivasi, memfasilitasi pembedaan roh, memulihkan integritas diri.
7. MANUSIA SEBAGAI IMAGO DEI DAN CAPAX DEI
Retret membantu manusia beriman menyadari jati dirinya sebagai Imago Dei dan Capax Dei. Dalam hal ini, Imago Dei berarti “citra Allah”, yakni pengertian bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej 1:26–27). Ungkapan Imago Dei berarti bahwa manusia diciptakan “menurut gambar Allah”. Ini bukan gambaran fisik, melainkan cara keberadaan manusia yang memantulkan Sang Pencipta. Dalam Kitab Kejadian, gambar ini tampak dalam kemampuan bernalar, kebebasan moral, tanggung jawab terhadap ciptaan, kemampuan membangun relasi, dan keterbukaan terhadap kebenaran. Imago Dei tidak pernah hilang; ia merupakan dasar martabat setiap manusia. Bahkan ketika manusia berdosa, gambaran itu tidak musnah—hanya menjadi kabur dan membutuhkan pemurnian. Makna teologisnya lebih dalam lagi, yakni manusia memiliki struktur batin yang cenderung kepada sumber asalnya. Ia mampu mengenal kebaikan, mencari makna, dan mengupayakan keadilan karena seluruh keberadaannya dibentuk oleh pola ilahi. Ungkapan Capax Dei, berarti bahwa manusia memiliki kapasitas untuk Allah—suatu kemampuan rohani untuk menerima, menjawab, dan bersekutu dengan-Nya. Jika imago Dei menunjukkan siapa manusia sejak asalnya, maka capax Dei menekankan apa yang mampu ia capai melalui rahmat: terbuka pada pewahyuan, mendengarkan sabda, bertumbuh dalam kasih, dan merespons panggilan ilahi. Kapasitas ini bukan sekadar kemampuan psikologis, tetapi ruang batin yang dirancang untuk persahabatan dengan Allah. Tradisi patristik sering memahaminya sebagai “kelapangan jiwa” yang hanya dapat dipenuhi oleh kehadiran ilahi. Inilah sebabnya manusia tidak pernah benar-benar puas hanya dengan hal-hal duniawi; ada kerinduan terdalam yang melampaui segalanya. Imago Dei bersifat statis, yakni martabat asal yang melekat pada manusia. Sedangkan Capax Dei bersifat dinamis, yaitu kemampuan bergerak menuju pemenuhan dalam Allah. Gambaran ini sering dijelaskan dengan analogi: imago Dei adalah “cetakannya”, sedangkan capax Dei adalah “ruang” yang bisa terus diperluas oleh rahmat untuk menerima Allah secara lebih penuh. Satu berbicara tentang asal mula, yang lain berbicara tentang tujuan dan perjalanan batin. Dalam hidup rohani—termasuk dalam konteks retret—imago Dei memberi dasar bahwa manusia selalu dicari dan dicintai Allah, sementara capax Dei membuka kemungkinan bahwa manusia dapat menjawab cinta itu dan diubah olehnya. Imago Dei menjelaskan dignitas manusia. Capax Dei menjelaskan destinasi rohani manusia. Singkatnya, Capax Dei menekankan kemampuan manusia untuk menerima, mengalami, dan berelasi dengan Allah. Imago Dei menyatakan asal-usul manusia, sedangkan capax Dei mengungkap tujuan final manusia. Keduanya bersama-sama memperlihatkan bahwa manusia adalah makhluk yang berasal dari Allah, hidup menuju Allah, dan hanya terpenuhi dalam Allah.
PUSTAKA
- Adrian van Kaam, Spiritual Formation: A Process-Oriented Approach (New York: Crossroad, 1989).
- Amsler, Nadine. “Jesuit Spirituality and the Formation of Early Modern Clergy.” Journal of Early Modern Christianity 5, no. 2 (2018): 211–230.
- Brueggemann, Walter, The Prophetic Imagination, ed. rev. (Minneapolis: Fortress Press, 2001).
- Bernard McGinn, The Presence of God, Vol. 1 (New York: Crossroad, 1991).
- Benedict, Regula Benedicti, ed. Timothy Fry (Collegeville: Liturgical Press, 1981).
- Gerald O’Collins, Catholicism: The Story of Catholic Christianity (Oxford: Oxford University Press, 2003).
- D. Raible, Foundations of Ignatian Spirituality (St. Louis: Institute of Jesuit Sources, 1995).
- Giovanni Pani, “The Desert Fathers: Origins of Christian Monasticism,” La Civiltà Cattolica, vol. 166 (2015).
- Karl Rahner, “God in the Silence,” dalam The Practice of Faith (New York: Crossroad, 1983).
- Rowan Williams, Silence and Honey Cakes (Oxford: Lion Publishing, 2003).
- Jordan Aumann, Spiritual Theology (London: Sheed & Ward, 1980).
- Timothy Gallagher, The Discernment of Spirits (New York: Crossroad, 2005).
- Frank J. Sheed, Theology for Beginners (San Francisco: Ignatius Press, 1981).
- Hans Urs von Balthasar, The Glory of the Lord, Vol. 1 (San Francisco: Ignatius Press, 1983).
- Raymond Brown, An Introduction to New Testament Christology (New York: Paulist Press, 1994). Buku ini menjelaskan tentang Teologi Inkarnasi dalam konteks retret.
- Howard Gray, “Ignatian Spirituality,” dalam The New Dictionary of Catholic Spirituality (Collegeville: Liturgical Press, 1993).
- Loyola, Ignatius. Exercitia Spiritualia. Diedit oleh Philip Endean dan Joseph Munitiz. London: Penguin Classics, 1996.
- Loyola, Igantius, Sentire cum Ecclesia, dalam Exercitia Spiritualia, no. 352–370.
- Kallistos Ware, The Orthodox Way (Crestwood: St. Vladimir’s Seminary Press, 1995).
- Teresa of Ávila, The Way of Perfection, terj. E. Allison Peers (New York: Doubleday, 1964).
- Yves Congar, I Believe in the Holy Spirit, Vol. 2 (New York: Crossroad, 1983).
- Walter Brueggemann, The Prophetic Imagination, ed. rev. (Minneapolis: Fortress Press, 2001).
- Jungmann, Joseph A. “Pastoral Renewal After the Council of Trent.” Dalam Pastoral Renewal in the Catholic Church, disunting oleh T. M. Porter, 57–78. New York: Herder & Herder, 1968.
- O’Malley, John W. Trent: What Happened at the Council. Cambridge, MA: Harvard University Press, 2013.
- Puhl, Louis J. “Development of Retreat Movements in the Post-Tridentine Church.” Theological Studies 22 (1961): 201–226.
Jakarta, Pastoran Ikan Asin, Desember 2025
(JT)










