Gereja Santo Fransiskus Berastagi
BERASTAGI sebuah kota yang terletak di dataran tinggi, tempat angin gunung membawa kesejukan dan awan sering menari di puncak bukit, berdirilah sebuah gereja yang memadukan dua dunia: iman Katolik yang universal dan jiwa budaya Karo yang hangat.
Gereja Santo Fransiskus di Berastagi tidak hanya menjadi tempat ibadat; ia menjadi sebuah dialog sunyi antara Injil dan kebijaksanaan setempat, antara tradisi Gereja dan warisan nenek moyang Karo. Dari kejauhan, bentuk atapnya yang menjulang mengingatkan siapa pun pada Siwaluh Jabu, rumah adat Karo yang melambangkan kesatuan, musyawarah, dan ikatan keluarga. Gereja ini, dengan sengaja, ingin berkata: “Di sini, umat Allah berkumpul bukan sebagai orang asing, tetapi sebagai keluarga besar—seperti dalam rumah-rumah leluhur mereka.” Inkulturasi di sini bukan dekorasi; ia adalah pengakuan akan martabat budaya. Pada fasadenya, motif-motif tradisional Karo—tapak gajah, garis-garis geometris, simbol perlindungan—terpahat menyatu dengan tanda-tanda Kristiani. Seakan-akan budaya Karo tidak ditinggalkan di luar pintu gereja, tetapi diundang masuk, duduk bersama, dan ikut memuji Tuhan. Warna merah, putih, dan hitam yang menghiasi detail bangunan berbicara dalam bahasa simbolik orang Karo tentang keberanian, kesucian, dan misteri keilahian. Namun kini, warna-warna itu juga berbicara tentang Kristus yang hadir di tengah-tengah budaya itu.
Di dalam gereja, altar dan ambo berdiri kokoh sebagai pusat liturgi, menyatakan bahwa perayaan ekaristi sebagai “sumber dan puncak” liturgi terbagi dalam dua bagiang, yakni liturgi sabda (mimbar) dan liturgi ekaristi (altar), keduanya dapat dibedakan tetapi tidak boleh dipisahkan. Karena Kristus yang bersabda Adalah juga Dia yang memberi diri-Nya. Namun, di sekelilingnya, hiasan kayu, kaca patri, dan panel berpola Karo membawa umat kembali pada keindahan tanah kelahiran mereka: gunung-gunung yang menjulang, pepohonan yang subur, dan dunia ciptaan yang begitu dicintai Santo Fransiskus dari Assisi. Gereja ini menjadi semacam litani visual tentang hubungan manusia dengan alam, dengan sesama, dan dengan Tuhan.
Ketika lonceng gereja berbunyi, suaranya tidak hanya memanggil umat untuk berdoa. Ia menyapa para petani sayur yang pulang dari ladang, para pedagang buah di pasar, dan anak-anak yang bermain di bawah pohon cemara. Gereja ini menjadi rumah rohani bagi komunitas, sekaligus tanda kehadiran Allah yang berbicara melalui budaya mereka sendiri. Dalam Gereja Santo Fransiskus Berastagi, kita melihat bagaimana iman tidak merusak budaya, tetapi memurnikan dan mengangkatnya. Inkulturasi bukan kompromi; ia adalah perjumpaan kasih. Di sini, Injil berakar dalam tanah Karo, dan budaya Karo menemukan kedalamannya dalam terang Kristus. Pada akhirnya, gereja ini menunjukkan bahwa keindahan sejati selalu lahir ketika iman menjelma menjadi bentuk yang dapat dikenali oleh hati umatnya.
Gereja menampilkan perpaduan arsitektur sakral Katolik dan arsitektur tradisional Karo. Bahasa bentuknya dipengaruhi oleh atap model Siwaluh Jabu (delapan rumah). Yakni, atap tinggi dan bertingkat melambangkan struktur rumah adat Karo. Menunjuk kepada kerakyatan, kehangatan komunitas, dan struktur sosial Karo. Secara teologis dapat ditafsirkan sebagai simbol “naik menuju Allah”. Selain itu gereja ini dihiasi kental dengan ornamen tradisional Karo. Gereja ini mengacu pada Rumah Adat Karo yang mengungkapkan perlindungan, dalam hal ini ditafsirkan ulang sebagai perlindungan Allah. Warna hitam-merah-putih ditampilkan untuk menyatakan aspek liturgis, yaitu segi pengorbanan, terang, kesucian. Dalam gereja ditampilkan motif anyaman sebagai simbol relasi dan kesatuan umat beriman, yaitu Gereja sebagai komunitas umat beriman. Material bangunan dipilih dari kayu berkualitas sebagai material utama interior, mencerminkan budaya pegunungan Karo. Batu dan beton digunakan untuk struktur utama untuk ketahanan terhadap iklim berkabut dan lembap. Juga kaca patri dengan pola lokal dan simbol Yunani-Latin (Chi-Rho, IHS).Ada pembagian Ruang Liturgis: Nave (ruang umat) begitu luas, dengan rangka kayu yang memperkuat akustik.
Altar dari batu alami lokal sebagai simbol kesatuan antara bumi dan liturgi. Ambo atau mimbar dibuat dari kayu lokal dengan ukiran Karo. Baptisterium (bejana baptis) yang ditempatkan di dekat pintu masuk, simbol perjalanan masuk menjadi anggota baru Gereja. Disediakan juga ruang devosi Bunda Maria dan Santo Fransiskus. Pencahayaan alami melalui jendela samping tinggi menciptakan suasana kontemplatif. Cahaya yang jatuh ke altar dirancang sebagai simbol kehadiran Kristus di tengah umat.










