Homili: PESTA PEMBERKATAN GEREJA LATERAN (Yoh 2:13-22) “Tubuh Kristus, Bait Allah yang Hidup”
0. INCIPIT
Hari ini Gereja merayakan Pesta Pemberkatan Basilika Lateran, katedral Paus, “ibu dan kepala semua gereja di kota dan di dunia.” Namun lebih dari sekadar bangunan, pesta ini mengingatkan kita bahwa Gereja sejati bukan hanya dinding batu, tetapi tubuh yang hidup — Kristus dan kita yang menjadi anggota-Nya.
1. ASAL-USUL BASILIKA LATERAN
Basilika Lateran (dalam bahasa Latin: Archbasilica Sanctissimi Salvatoris et Sanctorum Iohannis Baptistae et Evangelistae in Laterano) adalah gereja katedral Paus, Uskup Roma — bukan Basilika Santo Petrus, seperti yang sering disangka.
Bangunan ini berdiri di atas tanah milik keluarga Laterani, bangsawan Romawi. Tanah itu disita Kaisar Konstantinus Agung pada abad ke-4 dan diberikan kepada Gereja setelah kemenangannya atas Maxentius pada tahun 312 M. Sekitar tahun 324 M, Konstantinus meresmikan gereja itu dan mempersembahkannya kepada Kristus Sang Juru Selamat (Christo Salvatori).
2. MAKNA “PEMBERKATAN”
Pesta yang kita rayakan Minggu ini (tanggal 9 November) mengenang pemberkatan Basilika Lateran sebagai “induk dan kepala semua gereja di kota dan dunia” (Omnium urbis et orbis ecclesiarum mater et caput).
Pemberkatan ini menandai awal kebebasan umat Kristen untuk beribadah secara terbuka setelah berabad-abad mengalami penganiayaan.
3. PERKEMBANGAN SELANJUTNYA
Pada abad ke-6, Basilika Lateran juga didedikasikan kepada Santo Yohanes Pembaptis,
dan kemudian juga kepada Santo Yohanes Penginjil, sehingga kini dikenal dengan nama lengkapnya: BASILIKA SANTO YOHANES LATERAN.
Selama lebih dari 1.000 tahun, Basilika Lateran menjadi kediaman resmi para Paus, pusat kehidupan liturgi, dan tempat diselenggarakannya beberapa Konsili Lateran yang penting bagi sejarah Gereja.
4. MAKNA LITURGIS
Pesta ini tidak hanya memperingati sebuah bangunan, tetapi: Ungkapan syukur atas rahmat Gereja yang kudus, tempat Allah berdiam di tengah umat-Nya. Simbol kesatuan Gereja universal, sebab setiap umat Katolik di seluruh dunia bersatu dengan Paus, Uskup Roma. Panggilan rohani agar setiap orang beriman menjadi bait Allah yang hidup (lih. 1Kor 3:16), di mana Kristus sendiri berdiam.
Dalam Injil, Yesus memasuki Bait Allah dan mendapati tempat suci itu berubah menjadi pasar. Ia menggulingkan meja para penukar uang, menegur dengan tegas: “Jangan kamu membuat rumah Bapa-Ku menjadi tempat berjualan!”
Tindakan Yesus ini bukan sekadar kemarahan moral, tetapi tanda profetis: Ia sedang menyingkapkan bahwa ibadah sejati tidak terletak pada ritual atau tempat, melainkan pada hati yang berbalik kepada Allah.
Ketika Ia berkata, “Rombaklah Bait Allah ini dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali,” para pendengar terkejut. Namun Yesus sesungguhnya berbicara tentang tubuh-Nya sendiri — bahwa Ia adalah Bait Allah yang baru, tempat Allah berdiam di tengah manusia.
Sejak kebangkitan-Nya, setiap perayaan liturgi menjadi perjumpaan nyata dengan Kristus yang bangkit. Maka, setiap kali kita merayakan Ekaristi, kita tidak hanya masuk ke dalam gereja, tetapi ke dalam misteri Kristus sendiri.
5. INTI PESAN ROHANI
Perayaan ini mengingatkan kita bahwa:
Gereja bukan pertama-tama bangunan dari batu,
tetapi persekutuan umat beriman yang dibangun atas dasar Kristus.
Seperti Yesus menyucikan Bait Allah (Yoh 2:13-22),
demikian pula kita dipanggil untuk membiarkan hati kita disucikan
agar sungguh menjadi rumah kediaman Allah yang hidup.
6. RELEVANSI
Sering kali kita datang ke gereja dan merayakan ekaristi seperti menjalani rutinitas harian: duduk, berdiri, menyanyi, berdoa, lalu pulang seperti biasa. Namun sesungguhnya, liturgi adalah perjumpaan hidup dengan Kristus yang selalu rindu memperbarui hati kita.
Dalam setiap Sabda yang kita dengar, Yesus menuntun kita seperti Ia menuntun para murid di Emaus. Dalam setiap roti yang dipecah dan dibagikan, Ia menyatakan diri-Nya sebagai Tuhan yang hadir, mencintai, dan menyelamatkan kita. Perjumpaan itu mengubah hati para murid: dari sedih menjadi berkobar, dari kecewa menjadi bersaksi. Dan hati kita pun dapat berubah demikian.
Ketika kita merayakan ekariti dengan hati yang terbuka — bukan sekadar hadir fisik, tetapi hadir secara batiniah — Tuhan menyentuh hidup kita. Ia menenangkan hati yang gelisah, menghapus rasa bersalah, menyembuhkan luka batin, dan menyalakan kembali harapan yang mungkin mulai padam.
Liturgi bukan hanya untuk “ditonton”, melainkan untuk dihayati dan dihidupi. Kita keluar dari gereja bukan sama seperti saat kita masuk, tetapi membawa damai, sukacita, dan kasih-Nya ke tengah keluarga, pekerjaan, dan kehidupan sehari-hari.
Mari kita mohon rahmat agar setiap perayaan menjadi perjumpaan yang mengubah, sehingga hati kita semakin menyerupai hati Kristus. Semoga kita pulang dari setiap Misa dengan iman yang diperbarui, cinta yang diteguhkan, dan semangat untuk menjadi saksi kasih Tuhan bagi sesama.
6. DOA SINGKAT
Tuhan Yesus Kristus,
Engkaulah Bait Allah yang sejati,
tempat kemuliaan Bapa berdiam di tengah dunia yang sedang berubah ini.
Sucikanlah hati kami dari segala yang menghalangi kasih-Mu,
agar kami menjadi Gereja yang hidup,
tempat Roh Kudus berkarya dan menyalakan cinta kasih.
Semoga setiap doa, karya, dan pelayanan kami
memancarkan kehadiran-Mu di dunia ini.
Jadikanlah kami cor audiens et adorans —
hati yang mendengarkan dan menyembah-Mu dalam keheningan dan pelayanan.
Amin
(JT).













